Sering kali kita mendengar sebuah doktrin bahwa harta tidak dibawa mati. Kandungan makna diksi yang begitu “mendalam” tersebut pun menjalar dalam jiwa dan menyentuh sanubari paling dalam.
Seketika, kita menjadi semangat mengejar akhirat dan tidak peduli lagi dengan perkara-perkara harta, di dalam hati seakan bergumam :
“Buat apa ngumpulin harta? Toh semuanya juga akan ditinggalkan.”
Ya, demikianlah kira-kira doktrin yang beredar di tengah masyarakat. Dan doktrin tersebut menurut hemat kami perlu ditinjau ulang.
Logikanya, jika seluruh umat Islam menganut dan mengamalkan doktrin yang serupa, maka, siapa lagi yang akan mengeluarkan zakat kepada yang miskin? Siapa lagi yang akan membiayai pembangunan masjid-masjid dan pondok pesantren? Dan masih banyak lagi kebutuhan yang bersifat materiil untuk menopang perjuangan kejayaan Islam.
Sehingga, bisa dipastikan pasti ada yang salah dengan doktrin tersebut.
Sebenarnya jika dielaborasi, doktrin tersebut bisa dipahami melalui beberapa interpretasi sebagai berikut :
- Harta yang hanya sekadar ditabung, tidak dipakai untuk kebaikan dan tidak pula untuk keburukan.
- Harta yang dipakai untuk keburukan.
- Harta yang dipakai untuk kebaikan.
Jika yang dimaksud adalah poin no.1, maka memang benar harta tersebut tidak akan dibawa mati oleh pemiliknya, karena kepemilikan harta tersebut akan beralih ke ahli waris.
Kecuali jika pemilik harta telah menjadi wajib zakat, tetapi, tidak ditunaikan, maka, harta itu akan ia bawa mati, tapi, bukan untuk ia nikmati, melainkan akan menjadi siksaan untuknya.
Allah ta’ala berfirman :
يَوْمَ يُحْمَىٰ عَلَيْهَا فِى نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ ۖ هَٰذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنفُسِكُمْ فَذُوقُوا۟ مَا كُنتُمْ تَكْنِزُونَ
“Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.
Jadi, Sebanyak apapun saldo anda di bank, sama sekali tidak ada jaminan bahwa itu adalah milik anda. Karena besok atau lusa anda meninggal dunia, secara otomatis anda akan meninggalkan harta tersebut.
Namun, jika yang dimaksud adalah poin no.2, maka, tentu kelir. Karena harta tersebut akan dibawa mati pemiliknya, tapi, dalam artian bahwa ia akan disiksa gegara harta tersebut.
Allah ta’ala berfirman :
ومن يعمل مثقال ذرة شرا يره
“Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya”
Akan tetapi, jika maksudnya adalah poin no.3, maka, tentu juga keliru. Karena harta yang terpakai di jalan Allah swt akan menjadi harta yang akan dibawa oleh pemiliknya.
Rasulullah saw bersabda :
يقول ابن آدم مالي مالي قال وهل لك يابن آدم من مالك إلا ما أكلت فأفنيت أو لبست فأبليت أو تصدقت فأمضيت.
“Anak Adam berkata, “Hartaku! hartaku! ” Padahal tidak ada harta bagimu, wahai Anak Adam, kecuali 3 hal: 1.apa yang engkau makan hingga habis, 2. yang engkau pakai hingga usang, atau 3. yang engkau sedekahkan maka engkau mendapatkan pahalanya”. (HR. Muslim )
Bagi seorang muslim yang bijak, tentu akan memprioritaskan sedekah di jalan Allah agar harta-harta yang ia infakkan akan terus menemaninya di akhirat kelak.
Dan akan lebih baik lagi jika sedekahnya berbentuk wakaf produktif. Pokok hartanya akan terus abadi, dan pahala aneka kebaikan dari para pengambil manfaat dari keuntungan wakaf tersebut akan terus ia nikmati dari sejak ia masih hidup hingga ke alam barzakh (kubur) bahkan hingga di negeri akhirat. Seperti wakaf Utsman bin Affan ra yang eksis hingga hari ini di Madinah Al Munawwarah.
Jadi, bagi seorang mukmin yang shalih hartanya akan ia bawa mati melalui sedekah-sedekah di jalan Allah ta’ala. Rasulullah saw bersabda kepada ‘Amru bin Al-‘Ash :
نعم المال الصالح للمرء الصالح.
“Sebaik-baik harta yang baik adalah yang dimiliki orang yang shalih.”
Hal ini dikarenakan seorang hamba yang sholih memperoleh harta dari jalan yang halal dan tidak membelanjakannya kecuali di jalan yang diridhai oleh Allah ta’ala.